Minggu, 17 Mei 2020

Patah Hati Terindah


PATAH HATI TERINDAH

Memang sudah saatnya seperti ini. Segala yang dekat, adakalanya menjadi jauh. Segala yang kuat, ada masanya menjadi rapuh. Tapi, yang jadi pertanyaan, akankah segalanya mampu kembali seperti dulu? Atau mungkin malah membentang hingga tak layak untuk dipandang? Aku tak mengerti.

Setahun lebih berlalu, ketika aku merasakan gejolak yang tak mampu untuk berhenti bergerak. Ramadan tahun lalu menjadi saksi atas rasa yang terpendam di hati. Rasa yang tumbuh dengan sendirinya hingga aku tak kuasa untuk mencegah. Rasa terhadapmu yang kini masih membekas dan terus terhela bersama napas.

Setahun yang lalu ketika aku pertama melihatmu. Serambi masjid bercat biru menjadi pijakanku ketika pandanganku tak mampu berpaling kepada yang lain. Langkah kakimu menjadi magnet dan aku terus saja mengikuti. Sejak itu, perlahan senyummu selalu terukir di hati. Sinar wajahmu selalu melengkapi hari-hari. Setiap waktu, tanpa henti

Kala itu, lengkungan indah di bibirmu menoreh ke arahku, aku tertunduk malu. Mencoba menahan senyum yang sudah hampir membuncah. Kau, insan berbaju merah itu mengangguk pelan padaku, lalu menyapa. Aku tak kuasa untuk mendongakkan kepala. Aku masih tertunduk di antara jiwa yang kian berkecamuk. 
 
Setiap malam, kedua tanganku menengadah. Terus mengucap doa dengan sebuah nama yang menjadi harapan, sebuah tatapan yang tak pernah mampu untuk kulupakan. Ya Rabb, maafkan hamba-Mu yang telah mencintai makhluk-Mu sedalam ini, sejauh ini. Aku membutuhkan rengkuhan tangan-Mu, aku membutuhkan dekap kasih-Mu, aku membutuhkan belaian cinta-Mu.
Ya Rahman, aku tahu ini salah. Aku telah meletakkan rasa yang tak semestinya sebelum waktunya. Terlalu cepat untuk kusebut cinta, namun apa daya hatiku tak mampu untuk berdusta. Bayangnya selalu hadir dalam mimpi, bahkan ketika aku memejamkan mata.

Setahun lalu, Ramadan kala itu. Aku tak pernah berhenti untuk meminta. Sebuah sajadah putih tempat kubersimpuh, ia paham bahwa jiwaku semakin rapuh. Di setiap sepertiga malam ketika sunyi, aku selalu membujuk Rabbku agar Dia mau mempersatukanku denganmu. Aku berharap Dia tak pernah lelah mendengar. Dan aku berharap Dia memberiku binar yang tak pernah pudar.
Hingga masa berganti. Detik jarum jam terus berlari. Rasa ini tiada berkurang sedikit pun, malah kian menahun.

Aku percaya kekuatan doa. Allah akan selalu mengabulkan doa hamba-Nya yang bersungguh. Mulai saat itu, namamu tak pernah lupa kuadukan kepada Sang Pemberi Cinta. Aku selalu bercerita tentangmu, tentang rasaku kepada Sang Maha Pemilik Segalanya. Senyumku semakin merekah, makin hari kian memerah.

Setelah setahun berlalu, hingga saatnya aku tahu.
Air mata tertahan di mata tak kuasa untuk jatuh. Detak jantung dan seruan jiwa semakin bergemuruh. Aku melihatmu melingkarkan cincin di jari manis seseorang yang berada di hadapmu. Ya Rabb, ada yang patah, tapi bukan ranting. Ada yang perih, tapi tak keluar darah. Ada yang jatuh, tapi bukan daun yang lepas dari pohonnya.

Setahun aku memendam rasa dan kini aku harus menimang luka. Aku masih berkelut dengan dengung nestapa, sedangkan kau telah merajut asa bersamanya. Mungkin memang salahku, membiarkanmu menerobos palang pintu hati tanpa permisi.

Selamat menempuh hidup baru, selamat membuka lembaran baru. Selamat berbagi rasa dan tawa kepada yang semestinya. Dan aku? Biarlah berkelut dengan luka yang entah kapan berakhir. Biarlah beradu dengan segala senyum yang sudah telanjur terukir.

Terima kasih, Ya Rabb. Kau telah memberiku patah hati terindah. Patah hati yang membuatku sadar bahwa tak semestinya aku meletakkan rasa kepada yang belum tentu ditakdirkan untukku. Patah hati yang membuatku lebih dekat dengan-Mu. 

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin, begitu kata Tere Liye. Karena ia paham, yang melekat tak selamanya menjadi penguat. Sebab ia mengerti bahwa yang dipegang adakalanya pergi dan menghilang.

Ada saatnya yang tergenggam terlalu erat akan perlahan lepas. Ada masanya yang bersikukuh dipertahankan akan pergi menghempas. Tak tersisa. Hanya tinggal tetesan air mata. Dan luka yang menetap menjadi lentera.

Aku bisa saja mengucap doa tanpa jeda tentang sebuah nama. Berharap didengar oleh semesta dan di-aamiin-kan seluruh jagad raya. Tapi, perlu kuingat bahwa Sang Mahakuasa lebih paham tentang yang kugelisahkan. Yang Maha Memberi tahu pasti apa yang kuingini.

Kecewa? Itu jelas. Tapi, tanpanya, aku tak pernah mengerti tentang arti ikhlas dan melepas. Dan kini saatnya untuk bergegas melepas.
Sekarang, aku tetap melantunkan doa. Tetap berharap. Hanya saja, tak ada sebuah nama seperti dulu. Karena Yang Mahatahu, lebih paham yang terbaik untukku.

Bumi Allah, 25 Ramadan 1441H

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ibu Harus Bahagia

  Sumber:  kumparan.com Assalamualaikum! Teruntuk para perempuan yang sudah menyandang predikat sebagai ibu, Halo! Bagaimana kabarnya?  Masi...