Haru Biru Putih Abu-abu (Antologi Cerpen "Kisah di Sekolah)
Agustus 29, 2019
Haru
Biru Putih Abu-abu
(dalam Antologi Cerpen "Kisah di Sekolah" oleh Jejak Publisher)
Namanya Rizky. Namun,
ia tidak dianggap sebuah rizki oleh kedua orang tuanya sebagaimana namanya.
Rizky merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara. Dari segi mental dan
kemampuan, ia memang berbeda dengan kedua kakak laki-lakinya. Ia selalu
dipandang rendah oleh kedua orang tua yang membesarkannya. Alasannya adalah
sudah lima tahun ia mengenyam pendidikan di bangku SMA. Ini tahun terakhir.
Jika tahun ini gagal, maka dapat dipastikan perjuangannya selama di bangku
putih abu-abu akan sia-sia.
“Ayah tidak yakin kamu
bakal lulus. Naik kelas saja dua tahun sekali,” ucap sang ayah ketika sedang
berkumpul di ruang tengah.
Kedua orang tuanya
memang sudah tidak sanggup dan kehabisan cara untuk membuat putra terakhirnya
berubah. Kemampuan setiap anak memang berbeda. Namun, baginya setiap anak yang
mau berusaha pasti dapat mengubah nasibnya sendiri. Tetapi Rizky berbeda. Ia
tetap dengan kemampuannya yang rendah. Untuk ukuran siswa kelas tiga SMA, ia
bisa dikatakan sangat tertinggal.
Sebenarnya Rizky bisa
saja diubah menjadi siswa yang lebih berprestasi atau minimal mendapat nilai
ujian di atas nilai minimum, asalkan ia mau berusaha. Rizky dikenal sebagai
siswa yang pemalas, sering membuat onar, dan ia merupakan langganan Bu Rani,
guru BK SMA Tunas Bangsa.
SMA Tunas Bangsa
merupakan sebuah sekolah swasta yang ada di Yogyakarta. Sekolah tersebut memang
sering dipandang sebelah mata dan setiap tahun selalu ada beberapa siswa yang
tidak lulus ujian nasional. Segala upaya telah dilakukan oleh kepala sekolah
namun hasilnya tetap sama. Guru-guru yang mengajar merupakan guru Pegawai
Negeri Sipil di sekolah negeri yang menyabang mengajar di SMA Tunas Bangsa,
sehingga mayoritas guru tidak dapat memberikan pengajaran yang maksimal di SMA
Tunas Bangsa.
“Mungkin dia naik kelas
bukan karena nilai yang meningkat, tetapi merupakan rasa belas kasih dari
guru-guru. Lihat saja! Naik kelas dua tahun sekali,” ejek Ratna, teman sekelas
Rizky. Ketiga temannya tertawa.
Ejekan-ejekan dari
teman sekelas maupun pernyataan yang kurang enak didengar dari sang guru hanya
lewat di benak Rizky. Masuk melalui telinga kanan dan keluar lewat telinga
kiri. Ia tak pernah menghiraukan. Pernah suatu ketika ujian kenaikan tingkat ia
tidak masuk kelas. Bu Rani mendapatinya dan kawan-kawan segerombolan sedang
asyik nongkrong di kantin sekolah.
Rizky dan kedua temannya memang terkenal nakal, namun kedua temannya, Andi dan
Gio, masih memiliki rasa takut dan jera jika ditegur oleh kepala sekolah
sekalipun, namun tidak dengan Rizky.
“Aku takut jika nanti
tidak lulus. Mau ditaruh dimana mukaku?” gerutu Gio.
“Taruh di pantat aja
Ge, nggak akan kelihatan. Hahaha,” Rizky
terbahak-bahak.
Sudah delapan tahun
belakangan SMA Tunas Bangsa selalu menyisakan beberapa siswa yang tertinggal
dalam kelulusan ujian nasional. Masih teringat jelas tiga tahun yang lalu
terdapat empat siswa yang tidak lulus. Dua tahun lalu dua siswa yang tidak
lulus. Setahun yang lalu tiga siswa yang tidak lulus. Pak Hari, Kepala Sekolah
SMA Tunas Bangsa, sudah menganggap hal tersebut sebagai sebuah kutukan. Untuk
tahun ini, Pak Hari pasrah jika Rizky dan kawan-kawan akan menjadi penerus
kakak-kakaknya yang tidak lulus. Mayoritas gurupun yakin akan hal tersebut,
Rizky tidak akan lulus.
“Mau jadi apa kamu, Le kalau tidak lulus sekolah. Lulusan
SMA saja susah cari kerja apalagi sampai tidak lulus. Lihatlah kakak-kakakmu.
Mereka selalu berprestasi di sekolah dulu. Nggak
seperti kamu, Le. Duh.... ibu nggak tahu dulu nyidam apa ketika hamil
kamu,” sudah berkali-kali Bu Kasiati, ibu Rizky, mengeluhkan keadaan. Namun
tetap saja, Rizky tetap bandel.
Suasana pagi itu
mendung. Seluruh siswa SMA Tunas Bangsa masih sibuk dengan pelajaran
masing-masing. Kelas 12 IPS 1 dihebohkan dengan salah satu siswi baru pindahan
dari Kota Gandrung, Banyuwangi. Namanya Riska. Kulitnya putih bersih, rambut
sebahu, dan mata kecoklatan.
“Pagi Riska. Kenalin,
aku Rizky. Hmmm. Sepertinya kita jodoh. Nama kita hampir sama. Ya nggak?” sapa Rizky di balik pintu.
Kala itu Riska sedang
duduk di kursi depan kelas sambil membaca buku. Riska hanya menanggapi dengan
senyum tipis. Tak mengeluarkan sepatah katapun.
Bel panjang berbunyi.
Seluruh siswa kembali ke kursi masing-masing. Langkah Bu Diana, guru
matematika, hampir sampi di depan kelas. Semuanya hening. Tak ada suara
sedikitpun kecuali detak jam dinding. Bu Diana dikenal sebagai guru killer. Tiada yang berani melawannya,
tentunya kecuali Rizky sang pembuat gaduh.
“Keluarkan PR kalian!!”
teriaknya lantang.
Mata Bu Diana tidak
pernah luput dari apapun. Telinganya selalu siaga. Ia tak pernah luput dari
segala kegaduhan yang diperbuat oleh siswa-siswanya, sekalipun itu suara
berbisik.
Tinggal menghitung hari
Ujian Kelulusan akan segera dimulai. Seluruh siswa sedang giat-giatnya
mengikuti bimbingan belajar agar mendapat nilai yang memuaskan, termasuk Riska
si siswi baru. Bimbingan belajar dilakukan pagi hari sebelum bel masuk dan
siang hari setelah pulang sekolah.
“Itu anak kemana ya?
Sering sekali tidak ikut bimbingan?” tanya Riska.
“Rizky? Dia memang
begitu. Dia itu dua kali nggak naik
kelas. Siswa yang terkenal bandel di sekolah ini. Bahkan, mayoritas guru sudah
yakin dia nggak bakalan lulus,” jawab
Fitri. Riska hanya diam.
“Hai Riska! Masih ingat
aku kan?” Rizky mengagetkan Riska ketika ia berjalan kaki keluar dari pintu
gerbang sekolah.
“Rizky kan?” Riska
tersenyum. Rizky heran. Kemarin ketika ia mengajak kenalan, Riska hanya
tersenyum kecut. Namun, kali ini Riska lebih bersifat supel.
“Nanti sore jalan yuk?”
ajaknya
“Mau ngajak aku jalan?”
tanya Riska. Rizky menganggung dengan senyum lebar. Ia bahagia. Sepertinya
ajakannya direspon Riska dengan baik.
“Ada syarat yang harus
kamu penuhi jika ingin mengajakku jalan,” gumamnya.
“Apa?” Rizky penasaran.
“Kamu harus lulus ujian
bulan depan. Sudah ya, bye.” Riska
melangkah pergi.
Rizky terdiam tak
berkutik. Hati yang tadinya lega kini berubah menjadi cemas. Kakinya tiba-tiba
kaku sulit untuk melangkah. Sesampainya di rumah ia memikirkan perkataan Riska
waktu di gerbang sekolah tadi. Hampir mustahil, pikirnya. Bagaimana dia bisa
lulus? Mendapat nilai 50 saja sudah lebih dari untung. Lima tahun mengkoleksi
nilai 1, 2, 3 dan paling banyak nilai 0 ketika waktu ujian, ia tak yakin bisa
memenuhi permintaan Riska.
Hari ini terasa
berbeda. Pagi-pagi buta Rizky sudah duduk manis di bangku tengah. Ya, perbedaan
tersebut muncul pada sesosok siswa yang dikenal sebagai pembuat onar yang pagi
ini mengikuti bimbingan belajar. Wali kelaspun dibuatnya heran. Namun, tetap
saja baginya ini sedikit mustahil. Mungkin saja Rizky hari ini hadir kemudian
besok kembali lagi seperti semula.
“Bro bantu aku biar lulus dong!” bujuk Rizky pada Andi dan Gio.
“Haaa?” keduanya
terkejut.
“Serius,” ucap Rizky.
“Halaaahh, bukannya
kamu sendiri yang bilang tak masalah jika gagal ujian,” jawab Andi
dengan enteng.
Rizky mulai berbenah.
Setiap malam ia tak lagi berada di warung sebelah untuk nongkrong dengan anak-anak muda kampung. Mulai jam delapan malam ia
sibuk dengan buku-buku.
“Lihat Pak anakmu!
Tumben dia mau membuka buku? Ada apa ya? Jangan-jangan....!!” Bisik Bu Kasiati
berbisik kepada suaminya dari balik pintu.
“Hush, ini kemajuan Bu.
Semoga anakmu memang sudah sadar,” jawab suaminya dengan ketus.
Pagi ini terasa tegang.
Ujian nasional yang telah dipersiapkan oleh seluruh siswa akhirnya tiba. Papan
pengumuman bertuliskan “Harap Tenang Ada Ujian” sudah diletakkan di depan
halaman sekolah. Siswa-siswi kelas tiga harap-harap cemas, begitupun Andi dan
Gio, yang sudah belajar semaksimal mungkin sebelum hari ini tiba.
“Pagi Riz. Udah siap
menerima kenyataan nggak lulus?” ejek
Dina, teman sekelasnya.
“Pastinya sih sudah,” tambah
Jeni.
Rizky tak menanggapi.
Ia tetap dengan langkah kakinya menuju ruang ujian. Memang selama ini ia
mempersiapkan ujian bukan semata-mata ia ingin lulus, melainkan ia ingin
memenuhi permintaan Riska. Ia ingin sekali mengajak jalan Riska setelah
pengumuman kelulusan nanti.
Ujian nasional telah
terlewati. Kini tinggal menunggu waktu papan pengumuman penuh dengan nama-nama
bertuliskan “LULUS” dan “TIDAK LULUS”. Rizky pasrah. Ia merasa sudah
mempersiapkan semuanya. Ia merasa telah mempelajari semua materi yang diberikan
oleh guru. Namun ketika menjawab soal-soal, ia merasa tidak mampu satu
nomorpun. Alhasil, ia memilih jawaban berdasarkan insting.
“Sepertinya aku tak
bisa memenuhi permintaanmu Ris,” ucapnya sambil duduk di gazebo sebelah kantin.
“Kenapa?” tanya Riska.
“Aku tak mampu
mengerjakan soal-soal ujian. Jika aku tidak lulus, apa kamu tetap mau jadi
temenku?”
“Jangan pesimis dulu.
Lihat saja pengumumannya besok. Yang jelas kamu sudah berusaha memperbaiki
keadaan. Sudah mau belajar. Itu sudah lebih dari cukup,” jawab Riska seraya
tersenyum.
“Jadi aku bisa mengajak
kamu jalan dong?” tanya Rizky bungah.
“Belum tentu,” jawabnya
kecut. Muka Rizky berubah masam.
Pagi ini seluruh siswa
kelas tiga SMA Tunas Bangsa berkumpul di dekat papan pengumuman menunggu
seorang petugas TU menempelkan hasil ujian. Lima menit kemudian Pak Rudi, ketua
TU, berjalan ke arah papan pengumuman dan menempelkan beberapa lembar pengumuman.
Setelah Pak Rudi pergi, seluruh siswa berebut tempat terdepan untuk melihat
namanya. Rizky masih terdiam di kursi depan kelas. Ia menunggu agar siswa-siswi
yang lain pergi dulu. Ia tak mau kecewa dan tak mampu jika rasa kecewanya akan
menjadi bahan ejekan siswa lain. Entah kenapa. Setelah hadirnya Riska, Rizky
mulai berubah.
“Gimana Bro? Kita lulus nih. Lulus nggak?” tanya
Andi.
Gio tertawa lega.
Namun, Rizky tetap masih cemas.
“Mungkin nggak lulus,” jawabnya lirih.
Papan pengumuman sudah
mulai sepi. Hanya tersisa beberapa siswa yang belum melihat hasil ujiannya.
Rizky memberanikan diri. Ia berdiri di depan papan pengumuman. Ia belum mencari
namanya. Saat itu juga siswa yang lain meninggalkan papan pengumuman. Tersisa
Rizky, Andi, dan Gio. Rizky harap-harap cemas. Ia mencari namanya dari deretan
atas hingga bawah, belum juga terlihat.
“Riz,” tiba-tiba Riska
mengagetkan dari belakang.
“Eh, ya?” Rizky gugup
“Selamat ya!!” ucapnya.
“Ha?” Rizky bingung.
“Iya, kamu lulus.
Tuh!!” Riska menunjuk papan pengumuman setelah itu pergi.
Hati Rizky berdegup
kencang. Ia terkejut bukan main. Ia lulus meskipun namanya berada di deretan
paling bawah dan semua nilainya minimum. SMA Tunas Bangsa lulus 100%. Meyoritas
guru yang meragukan kemampuan Rizky terasa tidak percaya. Ini tahun pertama
siswa SMA Tunas Bangsa lulus ujian nasional tanpa meninggalkan satu siswapun
selama delapan tahun terakhir. Kepala Sekolah SMA Tunas Bangsa menitikkan air
mata. Ia bangga terhadap seluruh muridnya, khususnya Rizky, murid langganan
guru BK.
“Apa yang membuatmu
berubah?” tanya kepala sekolah
“Pertanyaannya salah,
Pak. Bukan apa, tapi siapa. Hehehe.” Rizky nyengir.
“Siapa?” tanya kepala
sekolah lagi.
“Tuh!!” Rizky menunjuk
ke arah Riska yang sedang berbincang-bincang dengan kawan lain. Kepala sekolah
hanya diam dan heran.
“Dasar anak muda zaman now,” bisiknya dalam hati.
ISBN : 978-602-5675-00-3
E-ISBN : 978-602-5769-36-8
Editor : Iis Tentia Agustin
Penyuntin dan Tata Letak : Tim CV Jejak
Penerbit : CV Jejak
https://books.google.co.id/books?id=67VsDwAAQBAJ&pg=PA5&lpg=PA5&dq=ayudyah+diwanti&source=bl&ots=QQaSTgwr4H&sig=ACfU3U1yb8BYhrZQ-cdBlfm4kZcUAav5IQ&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwj4v_eO1KnkAhWlmuYKHbDkAzAQ6AEwBXoECAkQAQ#v=onepage&q=ayudyah%20diwanti&f=false
0 comments