Tradisi Penghalang Restu (dalam Antologi Cerpen "Bunga, Pusara, dan Dada yang Kerontang)
Agustus 30, 2019
TRADISI PENGHALANG RESTU
oleh: Ayudyah Diwanti
Aku terdiam dengan mata terpejam.
Menyusup ke dalam lorong mesin waktu yang membawa anganku pada masa lalu. Saat itu
bibirku kelu dan tak mampu untuk berucap sesyair kata pun. Aku tertegun dengan
segala janji yang mengalun indah menelusuri lubuk kalbu dalam suasana sendu.
Janji yang telah terungkap oleh sebutir bibir dan disaksikan oleh sepasang mata
sayu karena air mata.
“Akan kupenuhi janjiku,
secepatnya,” ungkapnya
Aku hanya mengangguk pelan. Mataku
menatap bumi di mana terdapat dua pasang kaki yang berpijak di atasnya. Air
mataku terjatuh kembali. Menetes hingga membasahi jari. Jari yang digenggamnya.
Mungkin dia mengerti akan air mataku yang berkata bahwa kesedihan telah
menghampiri nadiku dan mengalir di dalam darahku atas apa yang terjadi. Aku
terdiam, begitupun dengannya. Tak ada sepatah katapun yang terlontar dari mulut
kami berdua setelah kalimat tersebut menusuk jantungku. Entah, kalimat yang
memang akan dibuktikannya atau hanya untuk menenangkan keadaan yang semakin
menjadi.
“Kenapa terdiam. Tiadakah yang akan
Kau ucap untukku?”
Akhirnya bibir itu terbuka juga,
mencoba meredamkan api yang kian berkobar di atas kepala kami berdua. Aku terus
terdiam tak kuasa untuk menatap matanya. Bukan karena tak ada yang akan
kuucapkan, melainkan karena terlalu banyak syair yang ingin kulantunkan di hadapannya
sehingga aku sendiri bingung harus memulai dari mana. Bibirnya kembali
tertutup. Senja kali ini sunyi. Hanya desiran angin yang menggerakkan rambut
teruraiku yang dapat kami dengar, walaupun sangat lirih.
“Vin!” Aku memberanikan diri untuk
memulai rangkaian kata yang akan ku ucap.
“Ya?”
Seperti biasa. Tak tahu kenapa
hatiku selalu bergetar jika mendengar suara lembut darinya. Hal itu sudah dapat
kurasakan semenjak pertama kali mendengar suaranya. Aneh, semua terasa aneh.
Namun, keanehan yang kurasakan kian lama kian menjadi terbiasa. Ya, terbiasa
karena adanya rasa rindu.
“Tak taukah Engkau bahwa hati yang
telah menjadi serpihan tak akan dapat kembali seperti semula?”
“Aku akan berusaha untuk
mengembalikan semuanya Na. Untukku, untukmu, untuk kita berdua. Setiap malam
pun aku tak henti berdoa agar Allah membukakan hati orang tuaku. Kaupun juga
harus begitu. Berdoalah.. Doakan aku Na.”
Aku kembali hening dengan nafas
sedikit tersengal. Air mataku semakin deras. Jatuh seiringan dengan hati yang
sedikit rapuh. Terkadang aku berpikir, begitu menyayatnya takdir yang telah
diberikan-Nya untukku. Namun, secepat mungkin ku buang pemikiran seperti itu.
Aku percaya, semakin Allah menyayangi hamba-Nya maka akan semakin berat cobaan
yang diberikan. Dan selalu ku ingat juga bahwa Allah tidak akan memberi cobaan
di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Goresan
menguning di atas langit lepas mulai terlukis. Bergaris membentuk beberapa
lengkungan yang tertata rapi. Sungguh indah. Itulah lukisan yang sebenarnya.
Lukisan tangan-Nya yang tiada tertandingi oleh keindahan lukisan manapun buatan
manusia. Itulah lukisan abadi. Lukisan yang tak akan pernah kikis walau
berganti masa. Senja kali ini sangat indah. Tak pernah ku temui keindahan senja
seperti ini sebelumnya. Senja yang menawan. Keindahan senja yang tetap ada
meski tertutup oleh air mata.
“Allahu
Akbar... Allahu Akbar....!!!”
“Sudah
magrib Vin. Aku pulang dulu,” kataku masih dalam keadaan tertunduk. Meninggalkannya
yang semakin pasrah akan keadaan.
Dua
tahun lamanya aku mencintainya. Dua tahun hatiku selalu tersentuh ketika
memandanganya. Dua tahun selalu kurasakan kesejukan ketika aku mendengar
suaranya. Tak mungkin aku menghapusnya begitu saja. Aku tak sanggup. Aku
melangkah menelusuri setapak jalan yang dipenuhi oleh dedaunan kering. Mataku
tertuju pada sebuah daun yang baru saja jatuh dihempas oleh angin. Benakku
bertanya, ikhlaskah sang pohon melepas daun yang terhempas angin yang tak akan
pernah kembali padanya? Tentu saja. Karena sang pohon masih memiliki banyak
daun yang menemani. Tak bisa kusamakan dengan hatiku yang hingga kini belum
ikhlas menerima kehendak-Nya. Sulit.. Sangat sulit.
Langkahku
semakin pelan di antara lalu lalang insan di jalanan. Iqamah terdengar dari masjid yang baru saja ku tinggalkan. Rumahku
masih sekitar 15 menit bila ditempuh dengan jejak kaki. Aku tersadar bahwa aku
belum melaksanakan tugasku sebagai umat muslim di waktu senja. Langkahku
berbelok. Menuju sebuah bangunan kecil yang biasa disebut langgar oleh orang-orang Jawa.
Tiga
rokaat telah ku penuhi. Aku duduk di serambi mushola memandangi jalan raya yang
semakin malam semakin ramai. Namun, keramaian tak mampu membuatku terlepas dari
jeratan siksa rasa yang telah merampas senyumku.
...
“Tak
mungkin aku menyakiti perempuan yang aku cintai, Bu. Aku hanya ingin mendapat
restu dari Ibu,” kataku menahan air mata di hadapan wanita paruh baya yang
sudah membesarkanku, mendidikku dan menyayangiku selama ini. Hanya ibu yang ku
miliki saat ini setelah ayah dipanggil kepangkuan-Nya saat aku masih kecil.
“Alvin,
Kamu lebih memilih menyakiti ibumu ini?” gumamnya menghadapku. Ibuku merupakan
seorang yang berpendirian teguh. Yang sudah menjadi prinsipnya tidak akan
diingkari. Aku sangat tau sifat ibuku.
“Iya
tapi apa masalahnya, Bu?” Aku meminta penjelasan.
“Desa
tempat Nina tinggal mengarah ke utara dari desa kita, Vin. Itu sangat pamali
dalam catatan tradisi desa kita, bahkan orang Jawa. Jika hubunganmu berlanjut
hingga pernikahan, hanya kesengsaraan yang kamu dapat. Kamu akan sulit mencari
rezeki.”
“Itu
hanya sugesti, Bu. Semakin Ibu mempercayainya, maka semakin besar kemungkinan
hal tersebut akan terjadi. Aku tak percaya hal seperti itu, Bu.” Aku mencoba
meyakinkan ibu
“Itu
bukan sugesti, Vin. Hal itu sudah pernah terjadi pada keluarga kita, pada
ayahmu. Maaf. Ibu belum sempat menceritakanmu tentang ini dan sekarang akan ibu
ceritakan semua. Ibu hanya tidak mau Kau bernasib sama seperti ayahmu,” Ibu tak
memandangku. Air matanya menetes. Aku semakin kebingungan. Hal pernah terjadi
pada ayah? Hal apa?
Ibu
menghela nafas sejenak, matanya berkaca-kaca. Bibirnya masih bungkam. Namun,
aku tau bahwa ibu ingin sekali mengatakan sesuatu. Terlihat berat bibir ibu
untuk terbuka. Aku menyimak penuh rasa penasaran.
“Sebelum
menikah dengan ibu, ayahmu pernah menikah dengan wanita lain. Permasalahannya
sama denganmu. Nenekmu melarang, namun ayahmu tetap bersikukuh dengan
pendiriannya. Mungkin ayahmu terlalu mencintai wanita itu. Pada akhirnya,
ayahmu menikah. Satu, dua hingga tiga bulan mereka masih hidup bahagia.
Menginjak setengah tahun apa yang ditakutkan nenekmu semakin terlihat. Kehidupan
ayahmu dan istri pertamanya semakin sulit. Sudah berkali-kali ayahmu gagal
panen. Pada awalnya ayahmu menganggap itu adalah murni kehendak Allah, namun
nenekmu tidak. Nenekmu menyuruh agar ayahmu berpisah dengan istri pertamanya.
Ayahmu tidak mau meskipun pada akhirnya mereka bercerai juga. Beberapa hari
setelah perceraian, nenekmu meninggal. Setahun kemudian ayahmu bertemu dengan
ibu. Lagi-lagi permasalahannya sama, namun pada saat pernikahan, ibu sama
sekali tidak mengetahui tentang tradisi itu. Nenekmu juga sudah tidak ada
sehingga tidak ada yang memperingatkan ayahmu.”
Ibu
terdiam sejenak. Dengan memberanikan diri aku bertanya, “Jadi Ibu dan ayah
menentang tradisi itu? Lalu apa yang terjadi, Bu?”
“Ayahmu
yang menentang. Ibu tidak tahu tentang tradisi itu. Setelah kamu lahir, ayahmu
jadi sakit-sakitan. Ibu tidak menghitung berapa banyak harta ayahmu yang
terkuras demi menebus kesehatannya kembali. Dan puncak dari kejadian itu,
ayahmu meninggal. Ibu baru tahu tradisi itu saat ayahmu sudah tiada.”
Tangis
ibu semakin menjadi. Aku menundukkan kepala tidak berani menatap wajah ibu.
“Ibu
percaya, Vin. Ibu percaya bahwa jodoh, maut dan rejeki sudah diatur oleh Allah.
Ibu hanya takut. Ibu takut kehilangan kamu. Anak ibu cuma satu.”
Ibu
membawa air matanya pergi meninggalkanku sendiri yang duduk tak berdaya hingga
aku tak bisa merasakan apapun dalam hatiku. Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan selanjutnya. Aku tak tahu kalimat apa yang akan ku lontarkan
selanjutnya. Yang taku tahu aku sangat mencintai ibu. Aku tak ingin kehilangan
ibu, juga Ninaku.
...
“Maafkan
aku Nina. Maafkan aku telah mengingkari janjiku. Aku siap jika kau membenciku
seumur hidupmu.” Kalimat tersebut menusukku begitu tajam, melebihi pisau,
melebihi jarum. Sakit yang menerpa hati melebihi sakit apapun yang pernah ku
rasakan.
“Aku
tidak akan pernah membencimu, Vin. Aku tetap mencintaimu. Terima kasih, Vin.”
“Aku
sudah menyakitimu, Na. Mengapa kau berterima kasih?”
“Terima
kasih. Kau menyadarkanku, bahwa saling mencintai pun tidak cukup untuk
menyatukan dua hati. Terima kasih telah mengajariku tentang keikhlasan selama
dua tahun ini. Salam untuk ibumu.”
Aku
melangkah pergi meninggalkannya, tanpa menoleh ke belakang sekali pun.
Kediri, 14 September 2015
*Cerpen "CINTA TERHALANG TRADISI" tersebut tergabung dalam Antologi Cerpen "BUNGA, PUSARA, DAN DADA YANG KERONTANG" oleh SWALOVA PUBLISHING. Berikut profil bukunya :)
Judul : Bunga, Pusara, dan Dada yang Kerontang
Penulis : Winda Rahma, Andi Faizal, Andreas Agil, Eka Puji Astuti, Nanda Erma, Anggun Mayasari, Ery Nuryati, Audrey Regina, Ayu Setia, Aisyah Hudaibah, Ayudyah Diwanti, Juliana Nurul, Fanny Ratna, Firdaus Asykar, Brilyan Ersa.
Kategori : Antologi Cerpen
Tebal : 160 halaman
Ukuran : 14x20
ISBN : 978-602-6537-49-2
0 comments