Berkarya bersama Hijab (Juara 3 Lomba Cerpen oleh @pashmiraofficial)
Agustus 29, 2019
Berkarya
bersama Hijab
“Packing selesai!!!” teriakku
dengan gembira.
“Mau kemana Ay?” tanya
sahabat sekamar kos.
“Banyuwangi. Ada acara
festival kesenian,” jawabku tersenyum
Kesenian memang sudah
menjadi bagian dari hidupku terutama musik tradisional karawitan Jawa. Awalnya
hanya iseng bergabung ke komunitas seni di universitas, namun lama-lama menjadi
suka dan akhirnya jatuh cinta. Bagiku setiap manusia yang mau mempelajari budaya
tradisional akan terlatih menjadi pribadi yang sopan santun dalam berperilaku
dan bertutur kata. Hal tersebut sangat jelas kualami dari waktu ke waktu.
Selain menyibukkan diri
menjadi aktifis budaya, aku juga tak jarang mengikuti kajian muslimah di masjid
kampus. Awalnya juga terpaksa karena diajak sahabatku yang merupakan pengurus
lembaga dakwah kampus, namun lama-lama hati menjadi adem dan akhirnya jatuh
cinta juga. Aku mengerti bahwa agama dan seni memang tidak bisa dicampur
adukkan, namun bisa saja berjalan beriringan bergantung pada seseorang yang
menjalani.
Besok pagi aku
berangkat menuju Kota Banyuwangi, sebuah kota yang berada di pucuk timur pulau
Jawa, sebuah kota yang sangat terkenal akan budayanya. Keberangkatanku ke Kota
Gandrung tersebut juga tentang sebuah pelestarian budaya. Festival kesenian
yang diadakan setahun sekali kini telah tiba. Kali ini aku bukan lagi bergabung
bersama komunitas seni sesama mahasiswa, namun aku diberi kepercayaan untuk
mewakili kabupaten bersama orang-orang dinas pariwisata. Pengalaman pertama
yang menakjubkan memang, namun disinilah kisahku berawal, kisah pemertahanan
hijab yang selama ini selalu menutup kepalaku.
Fajar bersiap-siap
untuk menyapa dunia. Aku membuka jendela kamar kos dengan penuh semangat. Subuh
ini serasa nyaman dengan lantunan ayat-ayat suci yang terdengar merdu dari
speaker masjid gang sebelah. Surat Al-Kahfi menggema, aku berharap Jumat ini
menjadi barokah.
“Jangan lupa mukenanya,
Ay!” pesan Lutfi, sahabatku. Ia tak pernah lelah untuk mengingatkanku agar
selalu mengingat Sang Pencipta. Bukankah sahabat sejatinya memang seperti itu?
Mengajak sahabatnya untuk senantiasa memperbaiki diri agar dicintai oleh Sang
Penguasa.
“Iya sudah kok, Fi,” jawabku
pelan.
“Nanti berangkat jam
berapa? Jangan lupa Sholat Dhuha dulu,” pesannya lagi.
“Siap komandan!” aku
terkekeh kecil. Kemudian kami tertawa bersama.
Jarum jam menunjuk ke
angka tujuh. Bus pariwisata sudah menunggu di tempat. Aku termenung sendiri di
gazebo halaman dinas pariwisata. Inilah risikonya. Hanya beberapa yang kukenal
diantara mereka karena hanya aku yang berasal dari kalangan mahasiswa. Sebagian
besar didominasi oleh orang-orang yang sudah tua.
Bus pariwisata mulai
melaju pelan. Aku benar-benar merasa fresh
pagi ini karena dapat menghirup udara dengan sebebas-bebasnya dan mataku
juga terasa lebih segar karena pandangan tak pernah lepas dari hijaunya
persawahan. Pada saat masuk area perhutanan, jalan menjadi lenggak-lenggok. Ini
merupakan sensasi yang sangat kusukai. Kanan kiri penuh dengan ciptaan-Nya yang
sangat menakjubkan. Kanan jalan didominasi oleh pohon-pohon besar menjulang
tinggi dan kiri jalan terlihat kota kecil di bawah gunung. Ya, kami sedang
melewati sebuah gunung yang memisahkan Kabupaten Jember dan Kabupaten
Banyuwangi.
Jam sembilan pagi bus
kami tiba di tempat penginapan. Kami langsung mempersiapkan diri untuk gladi
bersih sore hari. Kami berkumpul di halaman vila. Memang ada yang sedikit
berbeda dengan penampilanku kali ini. Sangat berbeda dan tidak ada yang
menyamai. Memang aku sudah berjanji pada diriku sendiri dalam keadaan apapun
aku tidak akan pernah melepas jilbab ini.
Festival nanti malam merupakan
perlombaan tari antarkabupaten se-Jawa Timur. Aku berkontribusi sebagai penabuh
gamelan. Ya, kegiatan tersebut sudah menjadi bagian di hidupku akhir-akhir ini.
Bermulai dari iseng kemudian menjadi hobi dan pada akhirnya jatuh cinta.
“Ayu, alangkah baiknya
nanti malam kamu lepas jilbab. Biar sama kayak penabuh lainnya,” ungkap Pak
Rudi, salah satu penabuh gamelan.
“Maaf Pak. Saya nggak
bisa,” jawab saya lirih.
“Memang ada penabuh
gamelan memakai jilbab?” tanyanya lagi.
“Ya karena tidak ada
maka diadakan Pak, hehehe,” jawabku terkekeh.
Lalu pria berusia
sekitar 30 tahunan tersebut keluar ruangan. Sedih memang, pada jaman yang serba
modern seperti sekarang ini masih saja ada seseorang yang menghalangi orang
lain untuk tetap konsisten dengan pilihannya.
Senja perlahan pergi.
Persiapan telah dilakukan dengan matang. Ibadah di waktu senja tak lupa
dilakukan oleh beberapa anggota agar dimudahkan dalam acara nanti malam.
Festival dimulai pukul delapan malam. Semua anggota baik tim penari dan tim
ilustrasi bersiap untuk merias diri. Aku baru tersadar bahwa aku tak membawa
jilbab warna merah sesuai dengan kostum penabuh gamelan. Sempat terbesit di
dalam benakku untuk menanggapi omongan Pak Rudi tadi untuk melepas jilbab.
Namun, seperti ada sesuatu yang menahan. Pada akhirnya aku memakai jilbab
berwarna hitam, warna netral yang pantas dipadupadankan dengan warna apapun.
“Kan menjadi tidak kompak
kalau kamu pakai jilbab sendiri sedangkan yang lain tidak,” Pak Rudi
mengagetkanku dari belakang.
“Dia kan pengrawit
(penabuh gamelan) syar’i, Pak,” ejek Maya, seorang penari.
Aku hanya menjawab
mereka dengan senyum.
Acara festival kesenian
di mulai. Malam ini menampilkan perwakilan dari beberapa kabupaten. Dan memang
benar, tak satupun penabuh gamelan yang tampil memakai jilbab. Aku sempat
minder dan tidak percaya diri. Namun, ada sesuatu yang tiba-tiba berbisik dalam
hatiku bahwa dengan jilbab aku bisa berkarya. Kabupaten kami mendapat urutan
nomer lima. Pada saat menaiki panggung ilustrasi mata penonton dominan
memandang ke arahku. Mungkin masih tabu bagi mereka di tempat tersebut ada
seorang penabuh gamelan mengenakan jilbab. Tapi inilah aku. Aku tidak bisa
mengingkari janjiku sendiri.
Melalui acara tersebut
aku ingin membuktikan bahwa jilbab bukan sebuah penghalang bagi perempuan untuk
tetap bergerak dalam hobinya. Memang perlu pribadi yang tangguh dan mental yang
kokoh untuk mempertahankan sebuah mahkota muslimah ini. Bagiku kebudayaan
tradisional memang dan harus wajib dilestarikan, namun tanpa meninggalkan
sebuah jilbab yang sudah menjadi kewajiban bagi umat muslimah.
Pembawa acara festival
mengumumkan juara satu, dua, dan tiga. Alhamdulillah perwakilan kami
mendapatkan juara tiga. Memang belum mendapatkan posisi yang terbaik. Tapi
inilah buah dari usaha yang telah dilakukan beberapa bulan belakangan ini.
“Jilbab bukan
penghalang untuk tetap bisa nuthuk (menabuh
gamelan) kan Pak?” aku tersenyum ke arah Pak Rudi.
Pak Rudi hanya menjawab
dengan anggukan kepala dan senyum tipis. Kami bersorak atas hasil yang
didapatkan. Yang harus diperhatikan, bahwa tidak ada kejadian yang berjalan
campur tangan-Nya. Maka, selipkan kalimat tahmid untuk semua hasil yang telah
diperoleh. Apapun yang terjadi, inilah yang terbaik. Pukul dua belas tengah
malam kami melakukan perjalanan kembali ke kabupaten asal. Pengalaman ini
merupakan pengalaman yang tidak pernah kulupakan sepanjang hidup. Pengalaman
yang suatu saat nanti pasti kuceritakan kepada anak cucuku bahwa jilbab
bukanlah batasan bagi seseorang untuk tetap berusaha mewujudkan mimpinya.
1 comments
Casino games at Wynn and Encore, NV - DrmCD
BalasHapusAll games 청주 출장샵 listed 경주 출장마사지 on this page have a minimum bet amount and maximum winnings. This means that you'll find 군포 출장마사지 the best possible 아산 출장안마 odds on each game. 밀양 출장안마 For instance, the